Tragedi 16 Maret 2015

Sebenarnya tak ada yang ingin kuingat dari tanggal ini, tapi tidak ada alasan untuk aku terus terpuruk. Toh pada akhirnya kisah ini akan terus menjadi bagian dari cerita kehidupanku kan? Atau suatu saat kisah ini akan menjadi bekal yang kuceritakan pada anak-anakku.

Senin, 16 Maret 2015. Pagi itu, aku dan teman-teman yang lain seperti biasa mempersiapkan diri untuk melaksanakan praktikum Analisis Bahan Baku Farmasi (ABBF) di lab Kualitatif gedung Farmasi lantai 2. Hari Senin merupakan hari terpanjang bagiku dan teman-temanku, karena pada praktikum ini kami diharuskan untuk menganalisa apa saja bahan kimia yang terkandung dalam sebuah sampel seharian. Praktikum pada hari ini yaitu tentang destilasi sederhana. Aku bersama teman kelompokku (kelompok kami berjumlah 7 orang), mempersiapkan alat yang akan kami gunakan untuk praktikum destilasi sederhana tersebut. Seorang temanku bertugas mencampurkan sampel dengan beberapa zat yang lain. Sisanya mempersiapkan alat. Setelah api kami nyalakan dari lampu spirtus, destilasi pun dilakukan. Tetesan demi tetesan cairan dari sampel kami tampung. Suhu pada tabung destilasi semakin meningkat. Cairan di dalam tabung destilasi semakin berkurang, semakin mengering. Aku bersama yang lain mengamati tetes demi tetes cairan yang kami kumpulkan. Kami bergantian memegang tabung reaksi yang digunakan untuk menampung destilat. Pada saat itu aku sedang tidak memegang alat. Tiba-tiba pandanganku beralih kepada salah satu temanku yang duduk dibelakangku.

“Kamu lagi ngapain neng?”, tanyaku dengan menggunakan sapaan khusus.

“Ini lagi ngecek yang tadi, masih ragu”, jawabnya dengan tenang.

“Ooohh, yaudah. Perlu dibantu ga neng?”, tanyaku memastikan.

“Ngga ko, ini udah mau selesai.”

“Oke deh.”

Lalu aku membalikkan badanku untuk melihat lagi teman-temanku yang lain. Sepersekian detik aku menoleh, tiba-tiba DUAAAARRRRRRRRR!!!!!!!!! Tabung destilasi yang berukuran sekitar 500 ml meledak.

Suara ledakan sontak membuat semua panik. Aku mencoba memalingkan kepalaku, mencoba menghalau serpihan kaca yang menghampiri wajahku. Semua berteriak, berlarian, berhamburan keluar. Aku masih tetap terdiam, memulihkan posisi badanku yang tak lagi tegak. Telingaku berdengung sangat kencang. Teriakan mereka sulit kudengar dengan baik, menunjuk ke arah teman-teman kelompokku. Ku lihat beberapa teman kelompokku bersimbah darah. Darah segar mengucur diwajah mereka. Tiba-tiba asisten laboratorium menunjuk ke arahku dan berteriak “Del, cuci lukamu. Cuci Del, itu ada keran.” Tanpa kusadari, darah menetes dari kening dan pipiku. Lama-lama semakin deras darah itu mengucur. Aku langsung bertindak, mencoba mencuci darah yang keluar diwajahku. Semua panik, tapi entah mengapa aku begitu tenang. Setelah kucuci lukaku, satu hal yang aku ingat hanyalah "mama". Aku ingat bahwa aku harus mengabari orang rumah. Lalu aku lari menuju loker dengan darah yang terus mengucur. Jas labku yang tadinya putih bersih, saat kejadiaan itu sudah tidak karuan warnanya. Darah sudah menutupi semuanya.

Setelah kuambil handphone, aku langsung berlari ke bawah menuju tempat parkir. Disana sudah berkumpul teman-temanku dengan darah yang terus menetes. Seorang penjaga laboratorium langsung menghampiriku dengan membawa motornya dan langsung membawaku ke Pusat Kesehatan Mahasiswa (PKM). Tapi ternyata PKM tutup. Akhirnya aku langsung dibawa ke sebuah rumah sakit yang lumayan jauh jaraknya dari dalam kampus. Sepanjang jalan aku hanya bisa beristigfar, memohon ampun pada Allah atas segala kesalahan yang mungkin aku lakukan. Aku pasrah. Diatas motor yang bisa aku lakukan hanyalah bersalawat. Darah terus mengucur, bahkan sebagian sudah mengental dan mengering tertiup angin.
Setibanya di rumah sakit, aku langsung dibawa ke ruang UGD. Semua orang yang ada di rumah sakit histeris melihat aku dan temanku bersimbah darah (satu orang temanku sudah lebih dahulu datang). Mungkin wajah kami saat itu sudah seperti zombie di film-film. Aku tergeletak pasrah di ruang UGD. Apapun yang dokter dan perawat lakukan, aku pasrah. Aku berdo’a, berharap teman-temanku yang lain tidak mengalami luka parah.
Aku cenderung banyak bertanya kepada perawat selama luka di wajahku dibersihkan.
“Sus, apa luka saya parah? Ga harus dijahit kan? Kalau bisa untuk tidak dijahit, ga usah dijahit ya sus.” pintaku pada seorang suster.
Suster hanya tersenyum manis dan menjawab, “ nanti kita tanya dokter ya.”

Aku kembali diam, aku perhatikan teman di sebelahku yang sedang dijahit lukanya. Jahitannya cukup banyak. Aku kembali pasrah.

“Dok, ini dua ya?”, tanya seorang perawat perempuan kepada dokter sambil menunjuk ke arah kening sebelah kananku.

“Iya dua”, jawab dokter.

“Kalau yang ini satu atau tidak usah dok?”, tanya seorang perawat laki-laki sambil menunjuk ke arah pipi sebelah kiriku.

“Satu”, jawab dokter itu lagi.

Tiba-tiba aku memotong pembicaraan kedua perawat yang tadi menanyakan tentang jahitan untuk lukaku.
“Mas mba, kalau bisa ga dijahit ga usah dijahit ya.”

Perawat laki-laki langsung meletakkan jarum jahit dan suntikan. Lalu dengan nada sagak sinis, agak tegas, agak nyebelin, agak-agak deh pokonya, dia bilang begini..
“Kalau ga dijahit, nanti darahnya merembes lagi. Mungkin sekarang darahnya berhenti keluar, tapi kalau nanti di rumah darahnya keluar lagi saya ga tanggung jawab.”

Aku terdiam..

“Jadi mau dijahit ga nih?”, tanya perawat itu dengan nada tegas.

“Yaudah, jahit aja mas.” Jawabku

Dalam hati “Ya Allah mas, galak banget”. Hufftt..

Setelah proses jahit menjahit selesai, hasil jahitan ditutup menggunakan perban. Kata dokter, 3 hari kemudian aku harus kontrol jahitan. Beberapa dosen dan laboran menghampiri aku dan temanku. Terlihat juga bapak dekan yang teduh wajahnya, memperhatikan kami.

“Ada lagi yang dikeluhkan tidak? Kalau ada mumpung masih di rumah sakit.” Tanya salah satu dosen.

“Tidak bu.” Jawabku dan temanku.

Aku langsung teringat mama. Kulihat handphone. Ternyata tidak ada sinyal. Lalu kuberanikan diri meminjam handphone dosen dan langsung menelpon mama. Mama mengangkat telpon dengan respon yang aneh. Kata mama, mama memang sedang menunggu telpon dariku. Hmm, ikatan batin ibu dengan anak memang kuat ya..

Setelah selesai berganti pakaian dan makan, teman-teman yang lain datang menjenguk. Teman kelompokku, yang sebelum kejadian sedang mengulang reaksi (yang kusapa “neng”) tiba-tiba langsung memelukku dan menangis. Syukurlah dia tidak mengalami luka. Tapi, teman kelompokku yang lain mendapatkan beberapa jahitan dilukanya. Dengan kata lain, diantara 7 orang teman kelompokku hanya si “neng” ini yang tidak terluka. Setelah kutanyakan kabar yang lain, 2 orang temanku mengalami luka parah karena posisi mereka yang langsung berhadapan dengan tabung dan alat destilasi. Bahkan salah satunya harus melakukan operasi mata. Jumlah total korban 14 orang.

Masih dihari kejadian, media langsung ramai dengan pemberitaan ledakan di lab. Beberapa ada yang sesuai alur kejadian, beberapa seolah membalikkan kenyataan yang sebenarnya.

Ya Allah, ujianmu begitu berat saat itu. Tapi aku yakin, ada hikmah dibalik ini semua. Kuatkan aku dan teman-temanku dalam menghadapi segalanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Matahari dan Bulan dalam Filosofi

Tuhan Tak Pernah "Menyuruh" Pergi

Filosofi Mawar di Kanan Khimar