Hidup, Soal Bekerja Keras
Kalau bicara tentang kehidupan keluargaku, yang tergambar dari kami adalah bagaimana kami hidup bekerja keras. Ayahku bukan pekerja kantoran yang tiap hari naik turun motor apalagi mobil. Ayahku seorang karyawan pabrik. Setiap hari, ayah harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk sampai ke tempat kerjanya dengan mengayuh sepeda. Hal ini sudah dilakukan ayah sejak aku masih kecil. Jadi bayangkan saja, umurku saat ini sudah menginjak 20 tahun. Berarti sudah sekitar 20 tahun ayah mengayuh sepeda bolak balik rumah-pabrik. Dan yang membuat aku salut dengan ayah, beberapa tahun belakangan ini, sepulang kerja terkadang ayah berjualan di tempat yang berlawanan dengan arah rumah kami. Berarti, ayah mengayuh sepeda lebih jauh lagi dari biasanya. Tak pernah ada keluhan yang terucap dari ayah, padahal aku tahu betul bahwa ayah sangat merasa lelah. Bukan tak ingin membeli sebuah motor, tapi ayah lebih memilih menabung uangnya demi sekolah malaikat-malaikat kecilnya.
Sudah beberapa tahun mama bekerja membantu tetangga yang membuka usaha catering. Semenjak aku kuliah, ayah dan mama berusaha lebih lagi untuk memenuhi kebutuhan kehidupanku di Depok. Kondisi aku yang tidak memungkinkan untuk pulang-pergi Depok mengharuskan aku menetap disana. Mama dan ayah harus membagi dua total penghasilan mereka. Sebagian untuk kehidupan disini, sebagian untuk kehidupanku di Depok. Maklum, di Tangerang pun kami masih hidup mengontrak di sebuah kontrakan berpetak tiga. Ditambah aku yang ngekost di Depok. Kalau dilihat dari segi penghasilan, memang tidak mungkin untuk kuliah di universitas ternama dengan kondisi keadaan ekonomi yang kian menyesakkan, ditambah lagi adikku Cindy Syahriyani yang sedang menginjak kelas 3 SMP tentu memerlukan pengeluaran yang lebih. Tapi, alhamdulillah rejeki selalu mengalir kepada keluarga kami. Karena kami yakin bahwa pertolongan Allah selalu ada bagi setiap hamba-Nya. Bahkan aku pernah dibuat haru ketika pertama kali aku masuk kuliah. Mama bilang, modal mama hanya “bismillah”.
Aku tak pernah mengeluhkan apapun tentang kondisi keluargaku, karena dari sinilah aku belajar bagaimana caranya bekerja keras. Bahwa hidup tidak boleh terus diam. Untuk mencapai sesuatu yang kamu inginkan, kamu harus mau bekerja. Tak jarang aku berjualan di kampus untuk memenuhi beberapa kebutuhanku. Malu? Tentu tidak. Dari sini aku belajar bagaimana susahnya orang tuaku mencari nafkah demi keberlangsungan kehidupan kami. Apapun yang aku lakukan, belum mampu mengganti tiap butiran keringat yang menetes dari letihnya mereka.
Bagiku orang tua adalah ”motovator hidup”. Orang dibalik layar yang membuat aku berjuang hingga detik ini. Mereka memang tidak bisa menawarkan, bahkan menjanjikan gadget canggih, sebuah rumah mewah, atau fasilitas lengkap. Tapi, mereka menawarkan seluruh waktunya untuk bekerja keras demi kehidupan yang lebih baik, karena mereka ingin melihat anak-anaknya tumbuh menjadi sosok yang hebat. Ayah yang rela mengayuh sepeda puluhan kilometer setiap harinya, mama yang tak berhenti berdo’a. Mereka memang orang-orang sederhana, tapi justru kesederhanaan mereka yang membuat semuanya terlihat MEWAH.
Sejauh apapun kamu berkelana menjelajahi tempat-tempat mengasyikkan, bertemu dengan orang-orang baru yang kamu rasa adalah orang-orang yang begitu mengerti dirimu, jangan terlena. Karena sebaik-baiknya tempat kembali adalah keluarga. Dan senyaman-nyamannya tempat beristirahat adalah rumah sendiri.
Komentar
Posting Komentar